Suasana kota Ak Shehir cukup ramai. Seperti biasanya, orang-orang berlalu lalang melakukan berbagai aktifitas mereka. Nasruddin Hoja memutuskan untuk sedikit berkeliling disekitar tempat ia tinggal. Cuaca bulan itu sedang hangat, seakan mendukung untuk kegiatan jalan-jalan Nasruddin Hoja.
Sesekali dia akan tersenyum dan berhenti sejenak saat salah seorang menyapanya. Tidak heran banyak yang mengenal dan segan kepada Nasruddin Hoja. Ia adalah seorang cendekiawan yang terkenal akan kepandaian dan kebijaksanaanya di kota Ak Shehir.
Sedang asyik menikmati cuaca yang cerah, di tengah perjalanan Nasruddin tidak sengaja bertemu dengan seorang Hakim kota. Sang Hakim menunda perjalanan ke tempat tujuannya untuk sekedar menyapa sang cendekiawan. Keduanya pun kini tengah berbincang-bincang membicarakan banyak hal.
Hakim kota dikenal sebagai seorang cendekiawan yang bijak pada masa itu. Seperti pemikiran cendekiawan pada umumnya, Hakim kota pun sering kali melihat satu permasalahan hanya dari satu sisi saja.
Hakim itu mulai mengutarakan pemikirannya kepada Nasruddin. “Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ….”
“Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tapi sebaliknya. Justru hukumlah yang seharusnnya menyesuaikan dengan kemanusiaan,” tukasnya. Tidak setuju dengan pemikiran Sang hakim.
Hakim kota coba berkelit. Berusaha menggunakan taktik untuk membenarkan pendapatnya. “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Tuan. Seandainya anda punya pilihan antara kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan tuan pilih?”
Tak perlu berpikir, Nasruddin pun menjawab dengan lugas. “Tentu saja, aku pilih kekayaan.”
Hakim kota menatap Nasruddin tak suka. Ia pun membalas dengan sinis, “Sungguh sangat memalukan. Tuan adalah seorang cendekia yang diakui masyarakat. Tapi Tuan malah memilih kekayaan dibanding kebijaksanaan?”
Dengan santai Nasruddin balik bertanya. “Kalau Tuan sendiri, apa yang akan Tuan pilih?”
“Tentu aku akan memilih kebijaksanaan,” jawab sang Hakim kota tegas.
Nasruddin menatap sang Hakim dengan raut wajah bijaksananya. “Terbukti bukan, semua orang akan memilih untuk mendapatkan apa yang belum dimilikinya.”
Nasruddin pun menutup perbincangan mereka dan pamit pergi kepada Hakim kota itu.