Bijaksana atau Plin Plan

Humor Sufi 5

Tokoh Nasruddin Hoja ini memang dikisahkan sebagai tokoh bijaksana. Namun, ada pula beberapa kisah yang menunjukkan bahwa ia seorang yang pandir. Apapun karakternya, semua jokes tentang Nasruddin ini selalu menggelitik.

Selain menggelitik, kisah tentang Nasruddin sering memberikan pesan yang positif.  Bahkan, pesan ini dapat dengan mudah dicerna oleh siapa saja, karena memang dibalut dengan unsur komedi yang mengena. Seperti kisah di bawah ini.

Kisah ini dibuka oleh seorang tokoh darwis. Ia ingin mempelajari banyak filosofi kebijaksanaan. Ia berpikir bahwa Nasruddin adalah sosok yang tepat. Ia pun mendatangi sang mullah. Beruntung, Nasruddin tidak menolaknya. Tetapi, tetap saja Nasruddin meminta beberapa syarat kepada si darwis.

Darwis juga merasa tidak kesulitan untuk memenuhi syarat yang ditentukan Nasruddin. Syarat tersebut adalah darwis harus mau belajar dengan beberapa praktek, dan bukan teori. Justru darwis merasa senang karena ia menganggap bahwa ia pasti sudah dianggap mahir karena langsung mempraktekkan ilmu kebijaksanaan hidup.

Pelajaran dimulai di hari pertama dimana darwis berada bersama dengan Nasruddin dan ikut melihat semua yang ia lakukan. Hal pertama yang dipelajari oleh darwis adalah saat mereka membuat api dengan menggunakan kayu. Bukan pelajaran menggunakan kayu untuk membuat api yang dipelajari, ya. Darwis melihat bahwa Nasruddin meniup api tersebut berulang-ulang.

Ia pun menanyakan alasannya kepada si mullah.  “Apakah perlu api itu ditiup?

Nasruddin menjawab dengan enteng, “Agar lebih panas dan lebih besar apinya,” jawabnya. Si murid pun mengangguk-angguk.

Ternyata, Nasruddin hendak memasak saat membuat api dengan kayu itu. Setelah api terlihat cukup besar baginya untuk memasak, Nasruddin menyiapkan sebuah panci berisi air. Ia hendak membuat sop.

Baca Juga:  Pelayan Tidak Konsisten

Darwis pun tidak menyangka kalau proses memasak ini adalah proses pembelajaran kedua. Ia menunggu mullah dengan sabar untuk membuat sop, yang ia anggap akan digunakan sebagai makan malam. Setelah sop matang, sop panas tersebut dituangkan ke dalam dua mangkok. Satu untuknya, satu untuk si darwis.

Ia tak langsung memakan sop tersebut, karena masih sangat panas. Ia pun meniup berulang-ulang. Darwis pun kembali menanyakan hal yang sama seperti diatas.

“Mengapa sop itu ditiup?” tanya darwis.

Tetapi tentu, jawaban mullah berbeda.

 “Supaya sop lebih dingin, jadi kita bisa memakannya,” kata Nasrudin.

Tanpa disangka-sangka, darwis marah, “Wah, pengetahuan Anda tidak konsisten. Aku tidak mau belajar dari Anda.”