Pada suatu hari di kota Ak Shehir orang-orang tengah ramai menghadiri sebuah majelis dimana mengundang seorang filsuf yang terkenal akan kepandaiannya. Seorang filosof dogmatis itu saat ini sedang menyampaikan ceramah dihadapan ratusan penduduk kota. Tak terkecuali Nasruddin Hoja yang ikut membaur menjadi penonton dan pendengar ceramah.
Filsuf itu menyampaikan banyak petuah-petuah serta pemikiran yang kemudian diamini oleh orang-orang. Mereka semua menerima perkataan filosof dogmatis itu begitu saja. Berbeda dengan Nasruddin yang melihat itu dengan pandangan berbeda.
Nasruddin tidak hanya mendengar lalu mengiyakan semua isi ceramah itu, dia kini tengah mengamati filsuf itu. Menurutnya, jalan pikiran sang filsuf terkotak-kotak dan banyak menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis saat menanggapi suatu perkara.
Nasruddin tidak sependapat dengan cara berpikir sang filsuf. Setiap masalah didiskusikan dengan cara mengutip dari beberapa buku dan kisah klasik kemudian sang filsuf itu akan menarik kesimpulan dari dua hal itu dengan cara yang tidak semestinya. Tentu saja itu akan memengaruhi cara berpikir orang awam yang mendengar ceramahnya.
Diakhir ceramah panjangnya dihadapan semua orang, sang filsuf mengangkat sebuah buku dalam genggamannya. Buku itu adalah hasil karyanya sendiri. Tak lupa mengagung-agungkan isi yang terkandung dalam lembaran-lembaran tebalnya.
Saat sang filsuf manawarkan kepada orang-orang membaca buku miliknya, Nasruddin segera mengacungkan tangan tinggi-tinggi agar ia menjadi orang yang pertama kali menerima buku. Diterimanya buku itu dengan serius, Nasruddin kini mulai membuka halaman demi halaman buku dengan khidmat. Detik berlalu berganti menit, lama sekali hingga sang filsuf mulai kesal kepada Nasruddin.
“Kamu membaca bukuku dengan terbalik,” dengusnya tidak suka.
“Aku tahu,” jawab Nasruddin acuh.
“Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya… ya, memang begini cara yang benar mempelajari pemikiranmu,” lanjutnya.
Wajah sang filsuf memerah menahan kesal kepada Nasruddin, tapi ia sama sekali tidak memerdulikan delikan tajam sang filsuf. Orang-orang yang berada di majelis itu hanya menyaksikan keduanya dengan terheran-heran karena tidak mengerti tentang apa yang dimaksudkan oleh keduanya.